Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nabiila Rahma Fauziah

Kegelisahan Batin dalam Setiap Langkah dan Keputusan Para Tokoh

Dunia sastra | 2025-06-03 23:27:53
Dokumen Pribadi.

Cinta sering dianggap sebagai jalan menuju kebahagiaan. Tapi bagaimana jika cinta justru menjadi jerat yang membelenggu batin? Inilah pertanyaan besar yang menyelimuti Belenggu, novel klasik karya Armijn Pane. Bukan sekadar kisah cinta segitiga biasa, Belenggu adalah potret batin manusia yang terombang-ambing antara hasrat, norma, dan rasa bersalah.

Dalam kisah ini, kita bertemu Sukartono, seorang dokter cerdas yang hidupnya terasa kosong meski telah menikah dengan Tini, perempuan modern dan mandiri. Tini, di sisi lain, juga merasa tidak menemukan kedamaian dalam rumah tangganya. Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing, seolah hidup berdampingan tanpa benar-benar saling memiliki.

Situasi berubah ketika Tono bertemu kembali dengan Rohayah, perempuan masa lalunya yang dulu memilih jalan hidup yang “berbeda”. Bersama Yah, Tono merasa damai dan dimengerti. Tapi rasa damai itu bukannya datang tanpa beban—karena di balik hubungan mereka, ada rasa bersalah, keraguan, dan konflik moral yang tak pernah benar-benar selesai.

Ketiga tokoh ini—Tono, Tini, dan Yah—mewakili sisi-sisi berbeda dari manusia. Tono terjebak di antara kewajiban dan keinginan pribadi. Tini berjuang melawan norma sosial yang membatasi perempuan. Sementara Yah justru terlihat paling “bebas”, meski sebenarnya ia juga sadar bahwa kebebasan itu datang dengan risiko dan batasan.

Kalau kita pinjam kacamata Sigmund Freud, psikolog legendaris, konflik mereka bisa dijelaskan lewat tiga bagian dalam diri manusia: id, yang berisi hasrat dan keinginan; superego, yang penuh dengan aturan dan nilai moral; dan ego, yang jadi penengah di antara keduanya. Ketika ketiga unsur ini tidak seimbang, muncullah kegelisahan batin—dan itu terlihat jelas dalam setiap langkah dan keputusan para tokoh dalam Belenggu.

Novel ini memang ditulis puluhan tahun lalu, tapi temanya tetap relevan: tentang cinta yang tidak selalu indah, tentang keputusan yang tak mudah, dan tentang manusia yang terus mencari arti dari kebahagiaan. Cinta dalam Belenggu bukanlah tempat pulang, melainkan labirin yang penuh tanya—apakah kita benar-benar mencintai, atau hanya takut sendiri?

Jadi, pertanyaannya: apakah cinta selalu membebaskan? Atau justru perlahan membangun penjara yang tidak terlihat?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image